Memudarkan Kepolosan di Tanah Rantau - Heriyanto Rantelino

Memudarkan Kepolosan di Tanah Rantau

Memudarkan Kepolosan di Tanah Rantau

http://sioblonggg.blogspot.co.id

Setamat SMA tahun 2008 di Toraja,  saya punya impian mencicipi bangku perkuliahan di luar kampung halamanku  tepatnya  di Kota Makassar. Mama adalah orang yang pertama merasa cemas akan keputusanku. Beliau berpikir bahwa saya takkan mampu bertahan menghadapi dinamika di ibukota provinsi Sulawesi Selatan itu. Namun tekad saya sudah bulat. Lagian, saya adalah anak pertama  yang menjadi panutan bagi adik-adikku. Saya harus  memberikan contoh keberanian kepada mereka agar kelak mereka juga berani mencapai impiannya di luar sana. Saya sudah memperkirakan bahwa di Makassar kelak ada banyak  tantangan dan  ujian mental. Tapi sebagai seorang anak lelaki, saya akan berjuang demi keluargaku dan tak ada kata gentar sebelum berperang.

Setibanya di Makassar, saya dilanda banyak kekhawatiran. Mulai dari padatnya kendaraan di jalan yang membuat saya takut menyeberang, ada banyak gedung dan kendaraan mewah, dan ada banyak orang yang punya penampilan serba wah. Saya belajar beradaptasi terhadap lingkungan baru ini dan perlahan tapi pasti, saya mulai terbiasa menghadapinya.

Terkait dengan kehidupan saya di Makassar, Saya justru dekat dengan orang-orang tidak populis di tengah mahasiswa atau masyarakat.Walaupun begitu, saya meneguk banyak ilmu dari mereka mulai dari ilmu kepemimpinan, ilmu tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan berbagai kalangan, ilmu perpolitikan dan masih banyak lagi. Tak hanya sebagai teman, tapi secara tidak langsung mereka menjadi  mentor  dan penasehat pribadku.
Di lingkup rekan-rekan mahasiswa, saya bersahabat dengan beberapa kawan yang berasal dari berbagai daerah. Ada teman yang berasal dari Medan yang punya pikiran kritis dan idealis yang telah memperkenalkan saya seluk beluk dunia kewirausahaan. Ada teman dari Bone yang menjadi teman saya diskusi tentang ilmu kepemimpinan dan organisasi kemahasiswaan. Ada anak Barru yang mengajari saya tentang bagaimana menghadapi dunia dengan  senyuman. Dan masih banyak teman lainnya yang memperlengkapiku dengan berbagai pengetahuan.

Di lingkup pergaulan di sekitaran kost-kostan, saya bergaul dengan anak-anak yang cenderung bandel (bergaya preman). Lucunya, mereka tak mengajak saya ikut dalam lingkungan pergaulan mereka tapi menjadi partner diskusi saya yang pada akhirnya memberikan saya bentuk gambaran pergaulan anak muda Makassar.
Walau saya Nasrani, saya juga dekat dengan teman-teman dari  barisan orang-orang Muslim namun mereka tak pernah sekalipun mengganggu keimanan saya. Merekalah yang mengajarkan saya tentang dunia tulis menulis dimana saya tergabung di organisasi Forum Lingkar Pena. Mereka juga memberikan pencerahan agar mereduksi pola hidup hedonisme. Sebagai orang yang masih berprinsip konservatif, saya merasa pola pikir mereka  sejalan denganku.


Walaupun saya sempat dicibir, dilarang bergaul dengan mereka bahkan dianggap saya salah bergaul, namun saya masa bodoh karena saya sendiri sudah merasakan segudang manfaat dari mereka. Mereka bukanlah orang-orang yang populer di tengah mahasiswa dan masyarakat,  tapi mereka sudah menjadi rekan yang senantiasa  tulus dan ikhlas mendampingi, mencerahkan, menasehati saya  sehingga lambat laun rasa polos saya mulai memudar. Akhirnya saya bisa lebih mandiri dan survive dalam menghadapi  kehidupan yang penuh lika-liku. 
Please write your comments