dok: ryanagustinuslokobalblogspot.blogspot.co.id |
Keputusan saya memilih tanah Papua sebagai tempat
untuk mengais rejeki mengalami perjalanan yang panjang. Ada beberapa tawaran
yang menghampiri namun pada akhirnya Bumi Cendrawasih inilah yang saya pilih.
Lucunya, keputusan mantap ini diambil setelah beberapa malam sebelumnya saya
bermimpi berada di suatu lapangan yang dikelilingi oleh orang yang memakai baju
adat Papua dan memegang panah. Walau keliatan konyol, tapi saya mengganggap
bahwa ini adalah bentuk komunikasi Tuhan
kepada saya agar memilih berkarir di Papua.
Di Tanah Amungsa Bumi Kamoro ini, saya mengalami
berbagai lawatan Tuhan yang pada akhirnya menempa saya untuk menjadi pribadi
yang bermental baja dalam menghadapi berbagai dinamika. Mau tahu apa saja hal tersebut, saya akan
urai satu persatu
1.
Belajar
Ikhlas.
Menjelang akhir tahun 2016, saya baru kali ini
merasakan bagaimana rasanya kehilangan benda dengan nilai cukup besar. Saya
harus merelakan Smartphone Windows, Netbook Asus, kartu ATM lengkap dengan
tasnya dengan taksir kerugian sekitar 5 juta rupiah. Nilainya sama dengan dua
bulan gaji saya sebagai tenaga honorer. Selain nilainya, data-data yang terekap dalam gawai saya
tersebut sangatlah penting. Ada berbagai kenangan yang tersimpan di dalamnya.
Namun saya percaya, inilah bagian dari teguran
Tuhan kepada saya untuk tak berlaku teledor lagi, mengikhlaskan hal yang sudah
berlalu dan sabar menghadapi cobaan ini. Pada akhirnya, Tuhan tidak menutup
mata atas apa yang berlaku pada saya. Tuhan menggerakkan orang di sekitar saya
untuk membantu saya. Lewat tangan Pak Kepala Dinas (Johannes Rettob), Pak
Oktofianus Rahanjaan, adik saya (Clearly Rantelino) yang bekerja di kepolisian,
akhirnya saya bisa membeli gadget baru lagi.
2.
Belajar lapang
dada.
Saya akui di Papua, isu sentimen terhadap suku
lebih tinggi dibanding sentimen terhadap
agama. Ini adalah bagian dari realita kehidupan masyarakat dimana ada yang suka
dan ada juga yang tak menyukai keberadaan kita. Apapun yang terjadi, hal ini
tak mempengaruhi saya untuk tetap berkarya dan berbakti tanpa membeda-bedakan
orang.
3.
Belajar Mandiri.
Pada awal menginjak Papua di tahun 2016, saya
hanya mengenal satu kerabat yang berasal dari keluarga Ibu. Sambil beradaptasi,
saya tinggallah di rumah keluarga tersebut. Pergaulan saya pun hanya dalam
lingkungan kompleks tersebut . Namun seiring dengan waktu, saya akhirnya
mendapat banyak teman yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Ada yang berasal
dari lingkungan kerja, ada dari PT. Freeport Indonesia, dari Hotel Horison,
dari orang asli Papua dan dari orang-orang yang berasal satu daerah dengan
saya.
Saat ini saya memutuskan menjadi anak kost agar
lebih mandiri. Walaupun penghasilan saya hanya sebatas UMK saja, tapi dengan
strategi, saya bisa hidup secukupnya. Dalam kamus hidup saya, saya paling anti
meminta-minta atau memasang wajah kasihan kepada orang-orang tapi entah mengapa
pada akhirnya ada saja orang yang membantu saya. Ada yang kasih beras, mie,
buah-buahan, buku dan makanan ringan. Ada juga yang menyempatkan waktunya untuk
berbagi pengalaman hidupnya dengan saya.
Pada akhirnya saya percaya di Papua ini banyak orang-orang baik.
4.
Belajar Sabar
Saya mendapat celotehan dari beberapa teman saya
di luar Papua terkait kegiatan saya di tempat bekerja saya. Ada yang mencibir
pekerjaan yang dikerjakan tak berkelas, upahnya rendah dan masih banyak lagi.
Papua adalah wujud impian saya dimana cita-cita saya saat akan menamatkan
bangku kuliah adalah bekerja di daerah terpencil, dihuni oleh hanya segelintir
orang yang mengetahui saya, dan pekerjaan yang saya lakukan masih ada
hubungannya dengan apa yang saya pelajari dan minati. Terkadang saya menjadi tukang
ketik dokumen, perbaiki printer, menjadi petugas lapangan dalam hal ini
pengawasan lalu lintas, menjadi petugas penagih uang parkir dan kepercayaan
menjadi penanggung jawab keuangan di pelabuhan penyeberangan Pomako. Bertugas
di lapangan terkait pengawasan arus lalu lintas adalah hal yang sangat baru
bagi saya tapi untungnya saya mendapat rekan-rekan kerja yang mengajari saya
sebut saja Pak Jefri, Pak Hairul, Pak Mike, Pak Joe Ubro, Pak Rensky, Pak
Mathias, Pak Alfian, Edwin, Michael, Herdy, Fredy,Ilham, Samuel, Sita, Deddy
dan Urbanus.
Saya percaya pengalaman yang tak saya pelajari di
perkuliahan ini menjadi suatu hal yang bisa menempa mental saya untuk menangani
permasalahan teknis di lapangan
5.
Belajar
Menghadapi Orang Iri Hati
Salah satu penyakit mental cukup kronis disini adalah penyakit iri hati. Sekalipun kita
sudah berkelakuan baik, ada saja orang yang iri hati. Jika terpengaruh omongan atau
perlakukan orang iri hati tersebut, hal ini bisa saja menyurutkan semangat dan produktifitasnya
seseorang sehingga prestasi jeblok. Hal ini tentunya akan merugikan diri
sendiri. Prinsip saya saat ini, apapun kata orang, saya akan menunjukkan apa
yang terbaik karena hasil tidak akan mengkhianati proses.
Saya percaya di depan saya akan banyak
pengalaman-pengalaman seru lainnya yang menunggu saya. Segala yang terjadi
entah itu baik atau buruk akan menjadi bagian dari ujian iman dan menempa mental menjadi pribadi yang kuat.
Salam dari Tanah Papua
Penulis:
Heriyanto Rantelino, Staf Dinas Perhubungan Kab. Mimika/ Pemuda Timika Papua.
Facebook: Heriyanto Rantelino
No telepon/Whatsapp : 085242441580
Line : Ryanlino