Di
suatu negeri hiduplah seorang anak muda yang penuh energi dan punya banyak
mimpi. Doris, begitulah orang-orang
sering menyapanya. Lelaki yang hidup dari keluarga sederhana ini memiliki idealisme yang tinggi dan menginginkan
reformasi di segala bidang. Walaupun masih muda, pikiran bisa menerawang
kedepan, boleh dikata buah pemikirannya hampir menyamai orang-orang dewasa. Tak
hanya itu, dia adalah pribadi yang suka bertualang dan mencoba hal yang baru.
Kawan-kawannya kadang tak mengerti pola
pikir dan langkah apa yang hendak di tempuh. Dibalik sosoknya yang keliatannya
biasa-biasa saja, dia kadang tak terduga melakukan manuver yang tak
disangka-sangka. Julukan sebagai kutu loncat, mata elang, kuda hitam adalah
sebutan yang cocok untuknya. Siapa pun takkan bisa mengerti langkah-langkahnya
termasuk teman dekat dan orang tuanya sendiri.
teknokita.com |
Berkelana dari negeri lautan menuju
ke negeri rimba di seberang sana. Bergelantungan dari satu tempat ke tempat
lain telah memperkayanya akan banyak pengalaman dan inspirasi. Inilah yang
menjadi modalnya untuk melakukan usulan perubahan akan apa yang terjadi. Salah
satu hal yang membuat dia ingin bergerak adalah melihat kondisi negeri tempat
dia berada sekarang mengalami banyak kemunduran ketimbang di negeri asalnya.
Dia pun menelaah dan menemukan sejumlah akar permasalahannya yaitu
1.
Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Yang Ruwet
Perencanaan
infrastruktur negeri itu terlalu berfokus pada pengeluaran dalam siklus
anggaran tahunan. Siklus ini biasanya berlanjut untuk beberapa bulan setelah
awal tahun anggaran. Perencanaan pengeluaran dipersulit karena persetujuan
disyaratkan oleh masing-masing para perwakilan rakyat di negeri rimba itu.
Rintangan prosedural ini pada akhirnya berimbas padai mutu perencanaan dan mutu
investasi infrastruktur.
2.
Kurang Koordinasi Antar Pemangku Kepentingan
Koordinasi
antara masing-masing pemangku kepentingan tingkat lokal dan tingkat regional di
negeri itut hanya terjadi secara dadakan. Misalnya, jalan di daerah lokal
dibangun tanpa rencana apa pun untuk menghubungkannya dengan jaringan jalan
raya tingkat regional dan nasional yang lebih luas. Akibatnya, volume lalu
lintas pada jalan yang dibangun tidak memenuhi syarat untuk dapat digolongkan sebagai
investasi yang produktif
dok:Imgrum.com |
3.
Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme Yang Menyebar
Di
negeri rimba ini, masyarakat kurang menghargai kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotorik dari seseorang. Mau IQ mu
setinggi langit, integritasmu tak diragukan lagi, kapabilitasmu mumpuni,
pengalamanmu yang berlimpah, tak bisa menjadi indikator yang mementukan kamu
dapat diterima di negeri rimba ini. Pemangku kepentingan di negeri ini lebih
memihak pada orang-orang yang punya satu
garis asal usul suku dan keluarga. Ada
syarat lain sih, asal kamu bisa tampil
menjilat , kamu akan mendapat tempat di hati mereka dan juga mendapatkan posisi
jabatan yang lumayan.
Ada
pula tingkah laku dari keluarga pemangku kepentingan di negeri ini yang
memberikan ultimatum bahwa mereka harus
dilibatkan dalam suatu proyek daerah, jika tak mau maka tak dianggap lagi
sebagai bagian dari keluarga. Alhasil, pejabat tersebut dilanda dilema luar biasa sehigga terpaksa
menggadaikan integritasnya, tersandera oleh keluarga dan tidak independen lagi.
Terkait dengan dana anggaran, dicarilah
proyek-proyek yang kadang mengada-ada. Di anggaran menggunakan bahan kelas satu
tapi di lapangan menggunakan barang kelas tufa. Tak hanya itu, dana anggaran digelembungkan
dan dikorupsi berjamaah sedangkan para penegak yang mengaudit dananya justru
minta bagian juga. Kata si Tatan, “Kacau Balau”
4.
Sukuisme Yang Tergolong Tinggi
Sebenarnya
mayoritas rakyat negeri rimba ini
baik-baik tapi Doris juga menemukan masyarakat yang sumbu pendek yang menganggap bahwa mereka punya kuasa penuh
terhadap daerahnya. Apapun yang dilakukannya adalah semuanya benar. Toh, dalam
benak mereka, ini tanah mereka, ini daerah mereka, para pendatang hanyalah
orang yang menumpang. Mau langgar lalu lintas kek, mau mencuri kek, terserah
mereka. Tak ayal, pemahaman inilah yang mengganggu ketertiban, keamanan,
kedamaian dalam masyarakat.
Adapun
undang-undang di negeri rimba ini
berbunyi
Pasal
1, tidak ada masyarakat suku rimba yang
salah.
Pasal
2, jika ada suku rimba yang salah, kembali ke pasal 1
Jika
terjadi suatu konflik, sekalipun penyebabnya dari orang suku rimba ini, kamu tetap salah. Ada dua tawaran solusi yang
diajuakan masyarakat rimba tersebut yaitu meminta nominal bayaran yang sangat
tinggi atau jika tidak bisa dipenuhi maka masyarakat suku pelaku dan masyarakat
suku korban harus menyelesaikan secara
adat alias mesti ada pertumpahan darah.
5.
Penyakit Mental Yang Merajalela
Iri hati adalah penyakit mental nomor satu di
negeri ini. Mereka yang mengidap penyakit ini darahnya mendidih dikala melihat
orang yang sukses dibanding mereka.
Mereka melakukan banyak hal agar orang-orang yang berprestasi tersebut tumbang
di tengah jalan dengan cara mencari
point kelemahan dan menyebarkan fitnah. Sebenarnya penyakit ini gak tak boleh
jika pikiran dewasa ada dalam benak mereka. Simpel aja kok, fokus pada
latar belakang kesuksesan orang tersebut.
Tak
hanya itu, penyakit mental yang lainnya yaitu rakus. Misalnya saja, ada
kebijakan diberi dari pemangku kepentingan dengan harapan meningkatkan
pendapatan dan menciptakan lingkungan yang rapi dan tertata. Eh, malah penyakit
rakusnya kambuh. Mau untung dua kali, mereka menjual kembali fasilitas tersebut
dan kembali menjalani kegiatan usahanya seperti sedia kala.
6. Keserakahan Penguasaan Sumber Daya Alam
Ada enam potensi yang memunculkan konflik yaitu konflik penguasaan SDA, konflik kepentingan, konflik peruntukan, konflik kewenangan, konfloik komersiasliasi nilai-nilai budaya dan konflik dampak.
Salah satu faktor munculnya konflik di negeri ini adalah motif ekonomi dimana penguasaan sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam oleh kelompok tertentu atau kelompok pemodal tertentu yang menyebebabkan hak masyarakat adat terabaikan dari kehidupan ekonominya dan hidup menderita di atas kelimpahan sumber daya alam yang bernilai ekonomi adalah merupakan potensi konflik.
Disparitas pengelolaan SDA yang didominasi warga
luar pendatang menyebebkan orang pribumi sulit bersaing dan terpinggirkan dari
persaingan ekonomi modern. Realita menunjukkan orang pribumi hanya mampu
bertahan pada ekonomi subsitem dengan mengandalkan pada produksi lokal yang
bersifat tradisional. Sementara produksi ekonomi pasar sudah dikuasai pendatang, sehingga tercipta
jurang pemisah ekonomi pasar yang semakin mendalam. Kenyataan seperti ini
sering membuat pemicu konflik yang bisa mengarah pada isu diskriminasi
ekonomi, dan kemudian berimpikasi
politisasi isu rasial dimana orang pribumi secara sistematis dimiskinkan di
atas tanahnya sendiri.
Isu politisasi ekonomi semakin kuat ketika hasil
ekspoitasi sumber daya alam yang bersumber dari pertambangan mineral, gas,
bumi, kehutanan dan perikanan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pribumi. Malah kontribusinya
dari SDA tersebut lebih besar masuk ke kas negara, sementara kucuran dana dari
kas negara ke rakyat pribumi lebih kecil tidak sebanding dengan kapasitas
sumbangan kepada kas negara. Kenyataan
ini menjadi isu-isu komoditi politik
oleh kelompok tertentu lalu dilakukan aksi-aksi protes yang akhirnya
tercipta konflik.
Belum ada ketegasan yang serius oleh pemerintah
setempat dan memberi kebebasan kepada orang lain, sehingga mereka masuk saja
dan menggarap lahan yang kosong, harusnya gunakan sementara seakan-akan para
pendatang sebagai pemilik lahan. Pendatang juga menantang dengan alasan dia
sudah mendapat surat izin dari pemerintah, sudah terlanjur mendirikan bangunan
yang permanen, sudah berinvestasi besar-besara, belum kembali modal, sehingga satu-satunya jalan adalah
menyeret pemilik lahan kepada pengadilan.
Tawaran Solusi Doris
tamanbahasaindonesia.blogspot.co.id |
Pembangunan
infrastruktur yang direncanakan dengan baik akan mendukung pertumbuhan yang
mantap serta pembangunan ekonomi di negeri rimba ini. Bila segala sesuatunya
dilakukan sekaligus dengan terburu-buru, bisa terjadi pemborosan sumber daya
tanpa ada lagi kemungkinan untuk memulihkannya, dengan berbagai konsekuensi
yang menghancurkan dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.Walaupun
cenderung masalah politik sulit diatasi, namun semua rencana induk sektoral dan
lintas sektoral yang disebutkan di atas membutuhkan komitmen dari instansi-instansi
di semua tingkatan pemerintahan.
Pemerintah
harus memutuskan kawasan-kawasan terpencil mana yang akan dihubungkan dengan
jalan
raya dalam jangka pendek, dan kawasan-kawasan terpencil mana yang masih harus
bergantung pada suatu sarana dan
prasarana jangka panjang. Keputusan ini
harus tetap dijalankan agar pembangunan infrastruktur dapat berlanjut negeri
rimba ini dengan dukungan semua pihak untuk mencapai sasaran yang sama. Bantuan
teknis dari para donor masih dapat diharapkan, tetapi pemerintahlah yang harus
menggerakkan prosesnya.
Tantangan
utama bagi pemangku kepentingan di negeri rimba ini adalah bagaimana menggunakan pendapatan mereka
sendiri secara bijaksana dan produktif untuk mengoperasikan serta memperluas
jaringan infrastruktur tersebut.
Penulis:
Heriyanto Rantelino, Staf Dinas Perhubungan Kab. Mimika/ Pemuda Timika Papua.
Facebook: Heriyanto Rantelino
No telepon/Whatsapp : 085242441580
Line : Ryanlino